Minggu, 23 September 2018

ALLAH TRITUNGGAL: SATU ROH ATAU TIGA ROH?


Seorang teman bertanya "Apakah Yesus memiliki 2 roh atau 1 roh?" Saya menjawab: "Reformed percaya bhw manusia hanya terdiri dari 2 bagian/unsur: tubuh dan jiwa/roh. Alkitab jelas mencatat ada 2 kesadaran/pikiran dlm Yesus. Ada saat pikiran ilahiNya yg muncul, maka Dia bisa mengampuni dosa manusia, dsb. Tp saat pikiran manusiaNya yg muncul, maka Yesus tdk maha tahu, punya kehendak yg beda dgn BapaNya, dsb. Jika kita sepakat bhw dlm jiwa terdapat 'pikiran, emosi dan kehendak' maka harusnya Yesus punya 2 roh/jiwa".
Awalnya kami hanya mendiskusikan pribadi Kristus, tp kemudian melebar ke Allah Tritunggal. Pertanyaan muncul: Dimanakah posisi 'pikiran, perasaan & kehendak itu? Dalam roh atau pribadi? Sy menjawab bhw "3 unsur itu ada dlm jiwa/roh dan bukan dlm pribadi".
Saat membahas Kristologi, Louis Berkhof memasukan kesadaran dan kehendak dlm 'natur' dan bukan 'pribadi' (Teologi sistematika, Vol. 3. Doktrin Kristus. Momentum 2011, Hal. 44). Tapi dimanakah posisi 'pikiran, emosi & kehendak' dlm Allah Tritunggal? Berada dalam natur/substansi atau dalam pribadi? Apakah Allah Tritunggal punya 1 roh ataukah 3 roh?


Sekitar tahun 2009, dalam sebuah seminar di kota Palu, seorang pembicara menyampaikan sebuah pernyataan yang mengusik pikiran saya. Berdasarkan Luk 22:42, pembicara tersebut menyatakan bahwa saat di Getsemani, Yesus punya kehendak yang berbeda dengan Bapa. Saat menghadapi salib, Yesus ingin agar hal itu 'dilalukan' tetapi berbeda dengan kehendak Bapa yang ingin agar hal itu terjadi. Pembicara tersebut kemudian berkata bahwa disitu menunjukan bahwa "Allah Bapa dan Allah Anak bisa berbeda kehendak." Buat saya, pendapat tersebut keliru. Saat itu pikiran saya simple saja. Jika memang antar pribadi Allah itu bisa berbeda kehendak, maka salah satunya ada yang lebih bijaksana, ada yang lebih pandai, ada yang lebih berhikmat, dsb. Allah yang identik dengan kesempurnaan, tidak mungkin bisa keliru/salah dalam segala keputusan-Nya. Kesetaraan ketiga pribadi itu tidak memungkinkan adanya perbedaan pikiran/kehendak. Karna tak sependapat, saya kemudian bertanya dan kami terlibat dalam diskusi.


Menarik bahwa ada 2 tokoh Reformed Indonesia yang berbeda pandangan tentang hal tersebut. Mereka adalah Pdt. DR. Billy Kristanto dan Pdt. Muriwali Yanto Matalu, Ph.D (cand). Saya kemudian mengundang kedua hamba Tuhan tersebut untuk berdiskusi. Pak Billy berpendapat bahwa 'pikiran, emosi & kehendak' itu ada dalam 'natur/substansi' dan karena itu hanya ada 1 (satu) roh dalam Allah Tritunggal. Satu kehendak, satu pikiran. Berbeda dgn pak Billy, Pdt. Muriwali memahami itu bagian dari 'pribadi' dan karenanya Allah Tritunggal mempunyai 3 (tiga) roh, dimana setiap pribadi memiliki pikiran dan kehendak masing-masing. Berikut diskusi selengkapnya.


Billy Kristanto: Pak Albert benar, pikiran dan perasaan/kehendak itu sebenarnya masuk dalam kategori natur/substansi, bukan dlm kategori pribadi. Yesus memiliki 2 natur berarti Dia memiliki 2 kehendak dan 2 pikiran, ini bukan berarti 2 pribadi melainkan 2 natur. Sebaliknya, Allah Tritunggal hanya 1 kehendak ilahi. Percaya 3 kehendak dan 3 pikiran berarti percaya 3 substansi, berarti 3 Allah —> ajaran yg tdk ortodoks


Billy Kristanto: Pak Ferdy, ketiga unsur itu (sebenarnya dalam tradisi Reformed misal pada Calvin dan Edwards hanya dua yaitu rasio dan perasaan/kehendak), sekali lagi belongs to the property of nature/substance, bukan property of person. Roh/jiwa itu adalah tempat di mana understanding dan affection/will itu berada. Dalam Allah Tritunggal hanya ada 1 kemahatahuan dan 1 kehendak ilahi, bukan 3. Dalam Kristus, sebaliknya, ada 2 kehendak (2 jiwa/roh) dalam 1 Pribadi. Penjelasan bahwa pribadi harus memiliki kehendak sendiri itu berasal dari filsafat sekuler (Aristotle, Hegel), dan ini deduced dari worldview autonomous self. Istilah person yg digunakan dalam Alkitab itu berbeda dengan istilah individual. Menerapkan konsep autonomous self ke dalam pribadi Tritunggal merupakan sebuah kekeliruan dan kekacauan. Alkitab dan Bapak2 Gereja tidak membicarakan konsep person dalam pengertian seperti itu


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, pikiran, emosi, dan kehendak (dalam konsep Edwards affections, yg kita saat ini rujuk utk emosi, adalah sama dgn will), itu adalah propertinya pribadi. Maka jika merujuk pada Tritunggal, setiap pribadi Tritunggal memiliki keunikan pikiran, emosi, dan kehendak. Sedangkan yg menjadi properti esensi atau substansi Tritunggal adalah sifat-sifatNya. Artinya sifat-sifat Allah adalah substansiNya. Masalah Yesus dua jiwa atau roh itu, semua teolog Reformed ajarkan itu. Jadi kita sepakat.


Billy Kristanto: Pak Muriwali Yanto Matalu, saya kok kurang yakin ya Edwards membahas seperti itu. Kalau mungkin apa bisa berikan kutipan Pak? Bahwa yg memiliki rasio dan afeksi/kehendak itu adalah pribadi, saya pikir kita sepakat (rasio dan afeksi tdk mungkin dimiliki oleh yg tdk berpribadi). Namun, ini bukan berarti SETIAP pribadi harus memiliki kehendak MASING2. Konsep seperti ini bukan konsep Alkitab dan juga tdk diajarkan oleh Bapa2 Gereja. Roh Kudus, misalnya adalah suatu pribadi bukan karena Dia memiliki pikiran dan kehendak SENDIRI. Kehendak Tritunggal itu hanya 1, dan 1 kehendak itu dimiliki sepenuhnya oleh ketiga Pribadi (sama seperti 1 kemahakuasaan yg juga dimiliki sepenuhnya oleh ketiga Pribadi)


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto saya tak bilang Edwards bahas itu. Saya hanya mau sampaikan bahwa Edwards memiliki pandangan yg selaras dgn Augustine, Aquinas, dan Calvin ttg faculty of soul yakni understanding dan will/affections. Edwards yg menyamakan will dgn affections. Tetapi jelas, kita berbeda. Bahkan Berkhof mengajarkan bahwa pikiran, emosi, dan kehendak, terutama pikiran adalah properti dari pribadi bukan natur.

Muriwali Yanto Matalu: Albert Rumampuk lalu masalah tiga roh, itu konsekwensi logis dari kepercayaan sy bahwa ketiga pribadi Tritunggal adalah memiliki pikiran, emosi, dan kehendak secara unik. Namun, saya tidak dalam posisi menyatakan itu secara mutlak. Jika menjawab saya selalu bilang, jika kita percaya bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga pribadi yg berbeda, maka harusnya memiliki rohnya masing-masing. Tetapi tak dapat dipahami sebagai Triteisme karena kesatuan natur atau sifat-sifat ketika pribadi adalah sedemikian rupa.

Pak Ferdy Renaldo Suthelie, pak Billy Kristanto, dan teman2 lain, maaf saya tidak terlalu teliti mengikuti diskusi dari awal tadi. Saya harus perjelas pendapat saya. Di dalam masalah kristologi, berkaitan dgn natur manusia Yesus, maka pikiran, emosi, kehendak, serta kesadaran (consciuosness) Yesus adalah properti natur manusiaNya. Seharusnya ini adalah properti pribadi, tetapi karena natur manusia Yesus TIDAK memiliki pribadi manusia tersendiri, dan mengambil bagian pribadiNya dalam pribadi Logos ilahi, maka semua itu menjadi milik natur. Dan tentu, kita harus kembali tegaskan bahwa natur manusiaNya ini mengambil bagian pribadiNya dalam pribadi Logos. Dalam konteks kristologi semacam ini, saya sependapat dgn Pak Billy. Ini yg saya tak terlalu ikuti dari awal.

Tetapi jika kita berbicara doktrin Allah, khususnya dalam pembahasan Tritunggal, maka pikiran, emosi, kehendak, dan consciuosness adalah properti dari ketiga pribadi secara unik. Nanti di dalam pandangan Van Til, pikiran, emosi, kehendak, dan consciuosness juga adalah properti natur/substansi ilahi secara umum. Itu sebab dia berkata, Allah itu satu pribadi dan tiga pribadi. Tetapi ini adalah hal lain saya kira.


Billy Kristanto:
Tanggapan saya utk hari ini: sama seperti pada Kristologi, bahwa kehendak itu merupakan property dari natur dan bukan Pribadi, demikian juga dg Tritunggal: kehendak itu bukan merupakan property dari Pribadi melainkan property dari nature/substance (ada coherence antara Kristologi dan Tritunggal). Jika kita mengatakan kehendak adalah property dari Pribadi, maka Yesus yg memiliki dua kehendak harus dikatakan memiliki dua Pribadi -> ini bukan ajaran ortodoks.

Pada kenyataannya, kehendak Pribadi Tritunggal itu toh sama, ini berarti hanya 1 kehendak, dan karena itu juga 1 Roh. Jika kita percaya setiap Pribadi memiliki kehendak yang particular, tapi nyatanya kehendak dari 3 Pribadi itu sama, berarti ini bukan bicara 3 kehendak melainkan 1 kehendak, dan bersamaan dengan itu, 1 Roh.
Sebagai perbandingan, ketigaan dalam Tritunggal itu memang sungguh-sungguh berbeda dan tdk pernah bisa disamakan. Contoh: Bahwa yg melahirkan dalam kekekalan itu adalah Bapa dan bukan Anak dan jg bukan Roh Kudus; bhw yg dilahirkan dalam kekekalan itu adalah Anak, bukan Bapa dan bukan Roh Kudus; bahwa yang keluar dari Bapa dan Anak itu adalah Roh Kudus, bukan Bapa dan bukan Anak. Kita melihat di sini ketika membicarakan apa yang menjadi property pribadi secara unik sungguh-sungguh unik dan particular hanya pada Pribadi tertentu saja dan tidak dapat diterapkan pada Pribadi yang lain.
Tidak demikian halnya dengan kehendak ilahi. Tidak ada perbedaan dalam kehendak Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Jadi mengatakan setiap Pribadi memiliki kehendak masing2 sebenarnya meaningless. Karena itu lbh tepat menyatakan bahwa memang hanya ada 1 kehendak, bukan 3 kehendak. Kehendak merupakan property dari substantia, yang juga hanya 1. Bagi saya ada kebahayaan jika mengatakan setiap Pribadi memiliki kehendak-Nya masing-masing karena ini akan mengancam doktrin simplicity of God, dan juga akhirnya membuka peluang kepada 3 substantiae alias 3 Allah. Mengapa kita perlu mempertahankan doktrin Allah Tritunggal memiliki 1 kehendak? Karena ini akan mempengaruhi bagaimana kita mengerti kepribadian manusia yang dikuduskan dalam Kristus. Kita yg sudah jatuh dalam dosa dan mempunyai kehendak yang berbeda-beda (plural) satu dengan yang lain, berbenturan satu dengan yang lain, dikuduskan dalam Kristus untuk memiliki 1 kehendak manusia, yaitu kehendak manusia Kristus yang tunduk pada kehendak ilahi Bapa. Inilah natur manusia yang dikuduskan. Pengudusan adalah kehendak manusia yang plural dan saling berbenturan satu dengan yang lain dikuduskan menjadi satu kehendak, yaitu kehendak manusia Kristus yang satu itu.


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, jika kehendak Tritunggal hanya satu dan berada secara sama pada ketiga Pribadi, maka bagaimana bapak menafsirkan perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas 22:42, "bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang terjadi"?

Masalah ortodoks dan bukan ortodoks, saya kira perlu rujukan yang jelas dari pengakuan-pengakuan iman Reformed dan juga dari bapa-bapa gereja dan ahli teologi Reformed masa lalu.
Yg terakhir, pengertian unity and diversity dalam Tritunggal menurut bapak perlu dielaborasi lebih jauh. Thanks pak.


Billy Kristanto: Hi Pak, saya formulasi kembali ya pengertian Kristologi yg kita sudah sepakat. Kristus 1 Pribadi dengan 2 natur, natur ilahi dan natur manusia. 2 natur berarti 2 roh/jiwa: divine soul and human soul. Faculty of the soul adalah understanding/reason/mind dan affection/will. Berarti Kristus yg memiliki 2 natur memiliki 2 kehendak: divine will and human will.

Tanggapan saya tentang Lukas 22:42, ayat ini membicarakan kehendak kemanusiaan Kristus yg taat kepada kehendak ilahi Bapa, bukan membicarakan dua kehendak ilahi. Christ, according to his human nature denied himself to obey the (divine) will of the Father. Ayat ini sangat penting karena mempunyai sifat paradigmatis, karena di dalam Kristus, dan hanya di dalam Kristus, Sang Mediator, kita manusia taat kepada kehendak ilahi Bapa. Di dalam Kristus kehendak manusia kita taat kepada kehendak ilahi Bapa, sebagaimana telah dilakukan oleh Kristus dalam pergumulan ini. Pandangan saya ini sejalan dengan pemahaman Calvin tentang ayat ini, berikut kutipan dari commentary Calvin: "For the same reason that the Word of God is God, (John 1:1,) and is naturally life itself, (John 11:25,) nobody doubts that he had no dread of death; but, having been made flesh, (John 1:14,) he allows the flesh to feel what belongs to it, and, therefore, being truly a man, he trembles at death, when it is now at the door, and says, Father, if it be possible, let this cup pass from me; but since it cannot be otherwise, let it be not as I will, but as thou wilt. You see how human nature, even in Christ himself, has the sufferings and fears which belong to it, but that the Word, who is united to it, raises it to a fortitude which is worthy of God.”
Calvin menafsir dan memahami pergumulan Kristus di Getsemani dari perspektif kemanusiaan Kristus ("having been made flesh ... You see how human nature, even in Christ himself ...").

Muriwali Yanto Matalu: Baik pak, 1) Masalah Kristologi tak usah lagi dibahas, karena kita sdh sepakat.

2) Sy sependapat bahwa di taman Getsemani kemanusian Yesuslah yg memikul penderitaan. Dan saya kira pernyataan Calvin di atas, penekanannya bersifat umum bahwa di dalam natur manusiaNya Kristus taat. Di situ Calvin tak secara khusus menyatakan bahwa Kristus di dalam kehendak manusiaNya menyatakan taat kepada kehendak ilahi Bapa. Bagi saya, pernyataan Calvin tersebut, tak bermasalah apapun, dan sy sendiri juga mengajarkan seperti itu.
Nah, menafsirkan bahwa ketaatan Yesus kepada Bapa itu merujuk pada kehendak natur manusiaNya yang taat kepada kehendak ilahi Bapa - dan demikian berarti bahwa Yesus taat pada kehendak iilahiNya sendiri, jika menuruti pandangan bapak - maka paling tidak dua problem yg pak Billy harus selesaikan:
a) Bagaimana bapak melihat hubungan Bapa dgn Logos di dalam ontological trinity? Apakah memang Anak tidak memiliki natur yg taat secara kekal kepada Bapa? Bagaimana dgn Yoh. 17:5, dan juga 17:18, dimana kedua ayat mengimplikasikan bahwa di dalam partikularitas-Nya kehendak Allah berada secara unik dalam Bapa dan Anak (dan oleh karenanya juga Roh Kudus) dan saling selaras satu dgn yg lainnya? Bagaimana dgn frase "baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita" (Kej. 1:26) yg mengisyaratkan perundingan kekal Tritunggal dimana kehendak Allah dalam diversity-Nya saling selaras satu dgn yg lain?
b) Dan yg menarik ini, jika Bapa dan Logos satu kehendak dan tak berbeda di dalam partikularitas-Nya, maka saat Yesus berkata bukan kehendak-Ku Bapa melainkan kehendak-Mu, apakah menurut pak Billy, bahwa di sini Yesus, di dalam kehendak manusiaNya, sedang mau taat pada kehendak ilahiNya sendiri oleh karena kehendakNya dan kehendak Bapa tak ada perbedaan apapun? Dan di dalam posisi ekstrimnya, dapat dikatakan bahwa Yesus mengutus diriNya sendiri, taat pada kehendakNya sendiri utk datang mengambil natur manusia, lalu menderita dan mati.

3) Sy juga meminta klarifikasi dari bapak ttg definisi bapak mengenai pribadi, khususnya di dalam membicarakan Tritunggal, dan apa perbedaannya dgn definisi hakekat/substansi. Sejauh ini saya masih terus bertanya, dan belum membuat pernyataan yg mendukung (pembelaan terhadap) pandangan saya.

 
Billy Kristanto
: Pak Muriwali Yanto Matalu
2) Kita sepakat Calvin memahami Lukas 22:42 itu menurut natur manusia Kristus. Ini berarti kata "kehendak" Kristus dlm ayat tsb dimengerti sebagai kehendak manusia (jangan lupa kita sudah sepakat tentang Kristologi bahwa 2 natur Kristus berarti 2 kehendak: kehendak ilahi dan kehendak manusia). Sekarang pertanyaannya, Luk 22:42 itu Kristus mengatakan "kehendak-Ku". Kehendak yg mana ini? Jika kita konsisten dengan tafsiran Calvin, ini adalah kehendak manusia (Calvin membicarakan tentang natur manusia di sana). Tentang pernyataan Bapak “demikian berarti bahwa Yesus taat pada kehendak ilahi-Nya sendiri”. Saya harus mengatakan ini pemikiran yg salah kategori. Ketaatan itu adalah tindakan personal (pribadi) bukan tindakan natur. Yg taat adalah Pribadi kedua (menurut natur/kehendak manusia-Nya) kepada Pribadi Bapa (kehendak ilahi-Nya). Kekeliruan ini mirip dengan pernyataan pak Ferdy bahwa roh manusia Yesus menyembah roh ilahi-Nya. Penyembahan bukanlah tindakan natur melainkan tindakan pribadi. Jadi tentu saja tidak tepat mengatakan Yesus taat pada kehendak ilahi-Nya sendiri. Yesus itu Pribadi, kehendak itu natur.
a) Nah, kalau Bapak tanya tentang ini akan menyinggung urusan isu eternal subordination of the Son, ya atau tidak (saya berpendapat tidak). Istilah “ketaatan” itu baru relevan ketika Logos berinkarnasi, memiliki bukan hanya kehendak ilahi melainkan juga kehendak manusia. Di dalam kekekalan hanya ada 1 kehendak ilahi, dan itu selalu sama dan sinkron, tdk ada perbedaan partikular. Membicarakan ketaatan dalam konteks ini tidak relevan karena kehendak Bapa = kehendak Anak. Tentang Yoh 17:5, saya kurang mengerti bagaimana Bapak menarik kesimpulan implikasi partikularitas kehendak di sana. Ayat itu membicarakan bahwa Yesus, sebagai Pribadi kedua, sesungguhnya memiliki kemuliaan yg sama (1 kemahamuliaan) dengan Bapa sebelum Dia berinkarnasi. Selama Dia berinkarnasi, kemuliaan ilahi itu tersembunyi. Yoh 17:18 justru menyatakan property khusus dari Pribadi, bukan dari natur/kehendak. Yesus sebagai Pribadi kedua adalah Yang diutus, Bapa adalah Yang mengutus. Sending dan being sent masing2 menunjukkan partikularitas pribadi, bukan partikularitas kehendak/substantia/natur. Tdk ada perbedaan kehendak di sini (Bapa menghendaki pengutusan ini sebagaimana Anak juga menghendakinya). Penjelasan yg sama juga dapat diberikan bagi Kej 1:26. Ayat ini menunjuk pada pluralitas pribadi, bukan pluralitas kehendak. Kehendak ilahi hanya satu dan sama, yaitu mau menciptakan manusia.
b) Mengenai apakah dlm Luk 22:42, Yesus, dalam kehendak manusia-Nya sedang mau taat pada kehendak ilahi-Nya sudah saya jawab di atas: ketaatan itu adalah tindakan personal, bukan tindakan natural. Tentang pengutusan juga sudah saya jawab: pengutusan itu merupakan tidakan pribadi (Bapa dan Anak) dan bukan tindakan natural (ilahi dan manusia).

3) Sebagian sudah saya jelaskan di posting sebelumnya. Pemahaman tentang Pribadi Tritunggal dapat dipahami berdasarkan God’s opera ad intra, di mana itu menjadi property partikular pribadi tertentu: Bapa yang melahirkan Anak, Anak yang dilahirkan, dan Roh Kudus yang keluar dari Bapa dan Anak. Melahirkan, dilahirkan, dan keluar dari, merupakan property partikular masing2 pribadi Tritunggal. Atau bisa juga menggunakan penjelasan yang digunakan oleh Bapa2 Kapadokia: perbedaan Pribadi dalam Tritunggal dipahami dalam inter-relasi: dalam relasi-Nya dengan Anak, Pribadi pertama itu disebut Bapa. Dalam relasi-nya dengan Bapa, Pribadi kedua disebut Anak, dalam relasi-Nya dengan Bapa dan Anak, Pribadi ketiga disebut Roh Kudus. Pemahaman ini diteruskan oleh Agustinus dan juga dikutip oleh Calvin dalam Institutes I.13.19. Perhatikan bahwa Calvin tidak mengajarkan bahwa pembedaan pribadi ini ditandai dengan masing-masing Pribadi memiliki kehendak masing-masing atau memiliki roh masing2. Kita juga bisa menggunakan penjelasan opera dei ad extra utk menjelaskan partikularitas Pribadi Tritunggal: Bapa yang mengutus, Anak yang diutus, Roh Kudus yg dicurahkan. Atau bisa juga menjelaskan dari perspektif penekanan karya: Bapa yang mencipta, Anak yang menebus, Roh Kudus yang menyucikan (bdk. Katekismus Heidelberg Q/A 24 (meskipun perlu ditambahkan bahwa partikularitas ini adalah dalam bentuk penekanan, bukan berarti dalam mencipta, Logos dan Roh Kudus tdk terlibat, demikian seterusnya). Calvin membedakan Pribadi Tritunggal dalam pemahaman Bapa = beginning of activity, fountain and wellspring, Anak = wisdom, counsel, Roh Kudus = power and efficacy of activity. Sedang mengenai kesatuan Tritunggal: Allah satu dalam substantia/essentia-Nya: 1 kemahakuasaan, 1 kemahahadiran, 1 kemahatahuan, 1 kehendak ilahi. Sama seperti kemahatahuan yang dimiliki oleh ketiga Pribadi secara penuh/utuh, demikian kehendak ilahi dimiliki oleh ketiga Pribadi secara penuh/utuh. Istilah substantia/essentia artinya adalah property khusus yg dimiliki oleh sesuatu yang tdk ada pada yang lain. Kemahatahuan adalah property khusus milik Allah, yg bukan Allah tdk mahatahu. Demikian pula kehendak ilahi itu adalah property khusus miliki Allah, yang bukan Allah tdk memiliki kehendak ilahi. Karena itu kehendak ilahi termasuk dalam substantia/essentia, dan ini hanya 1, bukan 3.

 
Muriwali Yanto Matalu
: Pak Billy Kristanto: Sy ubah nomor 2 jadi nomor 1, karena nomor 1 tak relevan lagi untuk dilanjutkan.

1) Saya tidak salah kategori. Sepertinya bapak yg salah memahami argumentasi saya. Saya jelaskan lagi. Saya pun sepakat kalau ketaatan Kristus adalah tindakan pribadi. Dan saya pun tak menyangkal bahwa tindakan ketaatan itu berasal dari kehendak manusiaNya. Hanya bagi saya, there is a certain order in the ontological trinity (opera ad intra), dan karenanya secara ontologis, Logos taat kepada Bapa dari kekal sampai kekal. Saya jelaskan ini nanti di bawah.
Nah, maksud saya, jika ketaatan Kristus adalah tindakan pribadi yg berasal dari kehendak natur manusiaNya, maka ini berarti bahwa TINDAKAN PRIBADI ITU merupakan ketaatan dari kehendak manusiaNya terhadap kehendak ilahiNya sendiri, oleh karena tak ada perbedaan dalam pengertian apapun antara kehendak Allah dalam partikularitasNya (Bapa dan Logos). Bagi saya ini aneh. Ini harus bapak beri penjelasan. Adalah tidak relevan menjelaskan keganjilan ini dgn mengatakan itu adalah ketaatan antara pribadi Kristus yg mewakili kehendak manusiaNya terhadap pribadi Bapa. Ini semacam ada lompatan logika. Concern utama kita adalah masalah "kehendak."

2) Masih masalah ketaatan khususnya di dalam ontological trinity. Tentu kita sepakat bahwa tak ada sub-ordinasi berkenaan dgn natur Tritunggal, karena natur/hakekat ini dimiliki secara sama/identik oleh ketiga pribadi. Sy berasumsi, kita sepakat bahwa sub-ordinasi ala Tertulian adalah salah dan menyesatkan. Maka, saya berharap, dalam diskusi lanjutan, bapak tak dapat melihat/memahami saya sebagai mengajukan pandangan sub-ordinasi ala Tertulian. Nah, sub-ordinasi apa yg saya maksud? Saya mengutip Berkhof, "Generation and procession take place within the Divine Being, and imply a certain subordination as to the manner of personal subsistence, but no subordination as far as the possession of the divine essence is concerned" (Berkhof, Systematic [Grand Rapids: Eerdmans, 1996], 89.) I fully agree with this view.
Additionally, sebelum saya lanjut, saya menduga bahwa perbedaan kita ini, disebabkan oleh karena perbedaan concern dan bidang kita. Saya berasumsi bahwa bapak bidang utamanya historical theology lalu disusul oleh systematic theology. Itu sebab saya lihat patokan utamanya adalah pendapat bapa-bapa gereja dan para teolog yg lebih kuno. Sedangkan saya, utamanya adalah systematic theology dan historical theology adalah yg kedua, sehingga dalam berargumentasi, saya berpatokan pada pendapat yg saya anggap lebih koherent secara logis. Mendefinisikan pribadi Allah hanya dilihat dari aspek opera ad intra, bagi saya tidak memadai. Mari saya lanjutkan hal ini di poin berikut.

3) Masalah definisi pribadi dalam membicarakan tritunggal. Shedd yg sangat setia mengutip bapa-bapa gereja dan teolog-teolog yg lebih kuno, ternyata juga gamang dan terlihat inkonsisten saat membahas pokok ini. Sepertinya dia menawarkan via media antara posisi bapak dan saya. Saat membicarakan consciuosness di dalam tritunggal, dia berkata, "And the three persons are so real and distinct from each other that each possesses a hypostatic or trinitarian consciuosness different from that of the others. The second persons is conscious that he is the Son and not the Father, when He says, "O Father, glorify me" (John 17:5). The first person is conscious that he is the Father and not the Son when he says, "You are my Son, ....[Heb. 1:5] dst...(Shedd, Dogmatic Theology [Phillipsburg: P&R, 2003), 239. Apakah bapak setuju dgn pendapat ini?
Selanjutnya Shedd membuat satu kontradiksi, saat dia berkata, "Though there are three forms of consciousness, the are not three essences (yg ini saya setuju) or three understanding or three wills (dua yg terakhir ini saya tak sepakat) in the Godhead because a consciuosness is not an essence or an understanding or a will" (ibid). Saya tak tahu apakah ada bapa-bapa gereja yg mengajarkan bahwa ada tiga kesadaran dalam tritunggal. Selanjutnya kontradiksi Shedd adalah, bahwa saat dia berkata "consciuosness is not an understanding" dia sangkal ini di bagian lain saat dia berkata, "All consciuosness implies of subject and object: a subject to know and an object to be known... . Mere singleness is fatal to consciuosness. I cannot be conscious of a thing unless there is a thing to be conscious of. Take away all object of thought, and I cannot think" (Ibid., 169). Ini masih dalam konteks dia bicara doktrin Allah. Perhatikan, bahwa di sini dia memahami consciuosness sebagai "sesuatu yg berpikir atau subyek yg berpikir," dan dengan demikian menyangkal apa yg dia bicarakan di tempat lain bahwa "consciuosness bukanlah understanding." Bagi saya, ini terjadi oleh karena Shedd ingin mempertahankan pendapat kuno dari bapa bapa gereja, sebagaimana pendapat pak Billy, sementara pada saat yg sama dia bergumul mengenai definisi pribadi.

Nah, penjelasan Berkhof jauh lebih memuaskan dan nantinya dilengkapi oleh Cornelius Van Til (utk saat ini, sy belum mau singgung Van Til). Berkhof berkata, "The term "nature" denotes the sum total of all the essential qualities of a thing, that which makes it what it is... . The term "person" denotes a complete substance endowed with reason, and consequently, a responsible subject of its own actions" (Berkhof, Systematic, 321). Ini dinyatakan dalam pembahasan Kristologi. Dan Berkhof cukup konsisten dalam menggunakan istilah pribadi saat membahas tritunggal. Saat membahas the generation of the Son, dia berkata, "...This does not mean that it is not related to the Father's will in any sense of the word. It is an act of the Father's necessary will..." (Ibid., 93). Perhatikan bahwa istilah "will" yg digunakan di sini secara khusus merujuk pada pribadi Father, yakni partikularitas dalam tritunggal. Saat membahas personalitas Roh Kudus, Berkhof berkata, "The characteristics of a person are ascribed to Him, such as intelligence, John 14:26; ..., and affections, Isa. 63:10; ..." (Ibid., 96). Ini menjadi lebih terang benderang lagi, bahwa intelligence dan affections adalah milik pribadi. Posisi saya di sini, dan tak ada alasan utk mengatakannya sebagai "tidak ortodoks."
Saya berhenti di sini dahulu, dan menahan diri utk membahas pendapat Van Til.


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, sebagai tambahan, kayaknya pernyataan Bavinck lebih lengkap lagi dan benar-benar mendukung pandangan saya. Memang waktu dia bicara "essence," dia berkata, "There is in God one mind, one will, one energy" (Bavinck, The Doctrine of God, trans. by William Hendriksen [Grand Rapids: Baker Book House, 1977], 298.) Namun saat bicara istilah "person" dia berkata, "In the Christological struggle against Nestorianism and Monophysitism the church was forced to come forward with a clearer definition of 'nature' and 'person'; hence arose the definition of 'person' as 'the individual substance of a rational nature.' Cf. the work 'de duabus naturis et una persona Christi' the authorship of which is ascribed to Boethius. According to this definition the word 'person' indicates two things: self-existence and rationality or self-consciuosness. This is the meaning of the word in the works of scholastic and of the older Roman Catholic, Lutheran, and Reformed dogmaticians" (ibid., 299-300).
Perhatikan bahwa in this sense, rationality and self-consciuosness adalah property dari pribadi. Perhatikan juga bahwa Bavinck lebih konsisten dalam menggunakan istilah "consciuosness" yg setara dgn "rationality," dimana ini berbeda dgn Shedd yg di satu tempat dia katakan "consciuosness" bukan "understanding," tapi di bagian lain dia menegaskan consciuosness sebagai subyek yg berpikir.

Sejauh ini saya tidak membantah bahwa will dan consciuosness adalah milik "essence" karena dalam hal ini saya adalah Van Tillian. Saya hanya menyanggah pendapat bapak yg berkata bahwa will dan understanding/mind BUKAN properti "pribadi" atau "person" tetapi merupakan properti nature/esensi.


Billy Kristanto: Pak Muriwali Yanto Matalu, saya tanggapi bagian tulisan yg terakhir dulu ya Pak. Tulisan Bapak yg pertama itu memerlukan tanggapan yg lebih kompleks, dan untuk sementara saya belum punya waktu. Bapak mengutip Bavinck "There is in God ONE mind, ONE will, ONE energy." Dari mula pembicaraan saya sdh mengatakan bahwa Allah Tritunggal itu hanya memiliki 1 kehendak dan karena itu 1 Roh. Justru Bapak yg mengatakan Allah Tritunggal ada 3 kehendak dan karena itu 3 Roh. Tapi di sini Bapak justru mengatakan pandangan Bavinck mendukung Bapak. Saya terus terang tdk bisa mengikuti logika dan statement seperti ini (saya pikir pembaca/rekan yg lain perlu komentar di sini untuk menjadi saksi).

Di bagian akhir Bapak mengatakan bahwa Bapak sepakat bahwa
1. will dan consciousness milik essence, namun
2. menyanggah bahwa "will dan understanding/mind BUKAN property pribadi atau person tetapi merupakan property nature/essence.
Mungkin ada kesalah-pahaman di sini. Yg saya maksud will dan understanding/mind merupakan property of essence, sebenarnya sama dengan yg no 1 di atas (will dan consciousness milik essence, di mana Bapak juga setuju). Waktu saya mengatakan will dan understanding bukan property pribadi, itu sama sekali bukan dalam pengertian bahwa will dan understanding/mind itu tidak bisa dimiliki oleh pribadi, karena ketiga Pribadi Tritunggal kan memang memiliki keseluruhan essence ilahi, dengan kata lain setiap Pribadi Tritunggal memiliki keseluruhan kemahakuasaan, keseluruhan kemahatahuan, keseluruhan kehendak ilahi. Namun kemahakuasaan, kemahatahuan, kehendak ilahi ya tetap 1, bukan 3 (sebagaimana esensi ilahi itu 1, bukan 3).


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, saya langsung tanggapi saja yang ini (poin 2), sambil saya menunggu tanggapan bapak atas poin 1. Saya konsisten pak. Dari awal saya belum mempermasalahkan ttg hubungan will/mind/emotion dgn hakekat. Fokus utama sanggahan saya adalah pendapat bapak yg mengatakan bahwa will dll adalah properti natur dan menyangkal kalau itu adalah properti pribadi. Sejak dari wall pak Samuel T Gunawan, saya sdh bilang saya adalah Van Tillian, dan sejauh ini saya belum menjelaskan posisi ini. Nah utk jelasnya, saya kutip kembali apa yg saya sdh tulis di status pak Samuel T Gunawan, yg kemudian saya pindah di kolom utama di sini. Ini pernyataan saya, silahkan di lihat kembali di atas (di kolom utama ini):

"Ini harus ditaruh di kolom utama pak Albert Rumampuk:

Muriwali Yanto Matalu: Pak Ferdy Renaldo Suthelie, pak Billy Kristanto, dan teman2 lain, maaf saya tidak terlalu teliti mengikuti diskusi dari awal tadi. Saya harus perjelas pendapat saya. Di dalam masalah kristologi, berkaitan dgn natur manusia Yesus, maka pikiran, emosi, kehendak, serta kesadaran (consciuosness) Yesus adalah properti natur manusiaNya. Seharusnya ini adalah properti pribadi, tetapi karena natur manusia Yesus TIDAK memiliki pribadi manusia tersendiri, dan mengambil bagian pribadiNya dalam pribadi Logos ilahi, maka semua itu menjadi milik natur. Dan tentu, kita harus kembali tegaskan bahwa natur manusiaNya ini mengambil bagian pribadiNya dalam pribadi Logos. Dalam konteks kristologi semacam ini, saya sependapat dgn Pak Billy. Ini yg saya tak terlalu ikuti dari awal. Tetapi jika kita berbicara doktrin Allah, khususnya dalam pembahasan Tritunggal, maka pikiran, emosi, kehendak, dan consciuosness adalah properti dari ketiga pribadi secara unik. Nanti di dalam pandangan Van Til, pikiran, emosi, kehendak, dan consciuosness juga adalah properti natur/substansi ilahi secara umum. Itu sebab dia berkata, Allah itu satu pribadi dan tiga pribadi. Tetapi ini adalah hal lain saya kira."

Jadi concern utama saya sejauh ini, ingin menyanggah pendapat bapak yg berkata bahwa will/mind adalah properti natur dan bukan properti pribadi sehingga antara Kristologi dan doktrin Allah itu konsisten. Nah, posisi saya adalah bahwa di dalam Kristologi, pikiran, kehendak, dan emosi menjadi milik natur manusia Kristus, oleh karena Kristus tidak memiliki pribadi manusia sendiri, tetapi mengambil bagian pribadiNya dalam pribadi Logos, dan dengan demikian terjadi perbedaan dgn apa yg ada dalam Tritunggal, dimana pikiran dll adalah properti pribadi. Perhatikan, di sini saya belum menyangkal bahwa mind, will dll dapat menjadi properti natur/hakekat. Saya rasa belum ada penegasan seperti itu. Jika ada, itu adalah satu kekeliruan, karena yg jelas saya adalah Van Tillian. Nah, jika ada kekeliruan saya khusus mengenai hal ini, bapak bisa kutip kembali dan dinyatakan di sini. Sedikit saya sampaikan bahwa bagi Van Til, antara yg universal (hakekat) dan partikularitas (ketiga pribadi) masing-masing direpresentasikan oleh keduanya secara sempurna. Artinya, apa yang ada pada partikularitasNya berada secara sempurna pada yg universal, dan apa yg berada pada yang universal juga berada secara sempurna pada masing-masing partikularitasNya. Dengan demikian God is one consciuosness in his essence and three consciuosness in his particularity. Kutipan dan penjelasan lengkapnya, saya berikan setelah mendapatkan respons dari bapak.

Jadi kutipan saya dari Bavinck di atas, merupakan penegasan bahwa bagi Bavinck, rationality/understanding adalah properti pribadi, walaupun pada saat yg sama namun dgn konteks yg berbeda dia berkata bahwa God is one will dsb. Jadi, perhatikan concern saya saat mengutip pak. Mengenai poin 2 bapak di atas, saya tidak memahami apa maksudnya. Mungkin bisa diperjelas pak.


Billy Kristanto: Hi Pak Muriwali Yanto Matalu, saya sudah menduga memang sebelumnya, kelihatannya sanggahan Bapak ada kaitannya dengan pandangan Van Til yg sudah Bapak jelaskan di atas. Harus kita akui, bahwa di sini kita ada disagreement. Saya pernah baca bagian itu, namun semakin lama saya pelajari konsili2 tentang Kristologi (yg pasti ada kaitan dengan Tritunggal) dan juga pandangan2 Reformed yg lebih tua, saya makin tdk persuaded dengan kalimat paradoks Van Til bahwa Allah itu 3 Pribadi dan 1 Pribadi. Dlm hal ini saya pasti bukan Van Tilian, sedang Bapak subscribe kepada pandangan tsb. Saya kira ini cukup jelas. Memang teolog2 modern seperti Berkhof ada membicarakan tentang characteristics pribadi di mana dia menyatakan reason, affection, and will. Tp setahu saya tdk pernah ada statement bahwa itu dimiliki-Nya secara unik dan partikular. Kebutuhan penjelasan seperti itu juga sangat bisa dimaklumi karena pada zaman modern ada teolog2 liberal yg tdk percaya bahwa Roh Kudus berpribadi, jadi ini penjelasan yg sangat kontekstual. Hanya saja, penjelasan pribadi dengan menekankan (independent) mind, affection, and will sebenarnya bukan pandangan Alkitab, melainkan lbh berhutang pada filsafat Aristotle dan Hegel (ini saya kulakan dari Michael Welker). Pandangan Alkitab tentang Pribadi Tritunggal itu bukan individual self-consciousness yg self-referential, melainkan justru sebaliknya, non self-referential. Anak tdk berbicara dari diri-Nya sendiri, melainkan apa yang diterima-Nya dari Bapa; Roh Kudus tdk berbicara tentang diri-Nya sendiri, melainkan apa yang dari Kristus. Roh Kudus memuliakan Anak; Anak memuliakan Bapa; Bapa memuliakan Anak. Jadi, bukan self-referential. Bagi saya, konsep seperti ini membebaskan dan bisa menolong kita untuk memahami pribadi manusia yang seharusnya (dlm ranah antropologis dan soteriologis, sebagai manusia yg sdh ditebus dan sedang dikuduskan), bagaimana kita seharusnya mengerti konsep kepribadian, bukan dalam pengertian modern individual self-consciousness, melainkan justru dlm mengerti keunikan dan partikularitas dalam aspek relasionalnya (yg selain adalah pandangan Alkitab, juga sudah dikembangkan dlm pikiran Bapa2 Kapadokia, Agustinus, Calvin, dll).


Albert Rumampuk: Sekedar masukan. Sy rasa argumen2 yg didasari pd kutipan2 dari para teolog spt Calvin, Berkhof, Bavinck, Van Til, dsb, sebaiknya dikurangi dulu dan fokus pd teks2 Kitab suci. Sejauh ini sy baru melihat dari pihak pak Muriwali Yanto Matalu yg mendasari argumennya pd KS. Misalnya di Luk 22:42; Kej 1:26 yg menurutnya terindikasi adanya perbedaan kehendak dlm Allah Tritunggal dan itu berimplikasi pd '3 roh'. Yoh 17:5,18 jg digunakan pak Muriwali. Ayat2 itu memang sdh dibantah oleh pak Billy. Tp bagaimana dgn pak Billy Kristanto sendiri? Bisakah bpk memberi dasar KS atas pendapat bhw Allah tritunggal itu hanya miliki 1 roh saja? Jika mau mengutip pandangan para teolog, boleh sj asal disertai dgn teks KS yg dipakai oleh teolog tsb. Menurut sy itu penting utk memperkokoh posisi masing2 dari pd hanya sekedar pendapat teolog, minus KS. Trimakasih.


Billy Kristanto:
Hi Pak Albert Rumampuk. Thanks untuk tanggapan. Di tanggapan saya sebenarnya selalu ada ayat2 Kitab Suci (hanya kadang saya memang tdk mencantumkan di kitab apa). Tanggapan terakhir tentang non self-referentiality dari masing2 Pribadi: Roh Kudus dan Anak tdk berbicara dari diri sendiri, tdk memuliakan diri sendiri, melainkan memuliakan Pribadi yang lain. Ini semua ayat2 Alkitab. Atau maksudnya dasar Kitab Suci tentang one divine will ya? Kalau tentang one divine will, semua ayat yg menyatakan tentang kehendak Allah secara general sebenarnya sudah menyatakan bahwa divine will itu tunggal, bukan banyak dan berbeda secara partikular. Ini justru asumsi dasar. Mereka yg percaya bahwa setiap Pribadi Tritunggal memiliki kehendak yg berbeda2 justru yg lebih perlu menyertakan dukungan ayat Alkitabnya (dan menurut saya tdk ada dukungannya seperti sudah saya jelaskan dalam argumentasi sebelumnya). Berikut beberapa ayat yg menyatakan kehendak Allah itu satu dan sama: Roma 12:2; 1 Petrus 2:15; 1 Tes 4:3; Ibr 10:36 dan masih banyak lagi yg lain (tms bahkan Kej 1:26 yg sdh dikutip dlm argumentasi saya bahkan mendukung satu kehendak Allah, bukan 3). Semuanya membicarakan one divine will secara general yg tdk berbeda dlm setiap Pribadi Tritunggal.


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, saya memahami argumentasi bapak. Sekarang saya akan mencoba untuk memberikan gambaran secara utuh walaupun ringkas mengenai apa yang saya pahami tentang Tritunggal (natur dan pribadi-pribadiNya atau yang universal dan yang partikular).

1) Allah jelas adalah berpribadi. Kita tak dapat membicarakan natur/hakekat/substansi Allah, bahkan roh Allah dengan memisahkannya dari pemahaman bahwa Dia selalu, dari kekal sampai kekal, ADALAH substansi yang berpribadi. Apakah itu dinyatakan di dalam bentuk tunggal, mis. Kel. 20:2, “Akulah TUHAN, Allahmu, …”, maupun dalam bentuk jamak, mis. Kej. 1:26, “Baiklah Kita menjadikan manusia …”. Biasanya, jika Tuhan berkomunikasi dengan diriNya, digunakan kata ganti orang ketiga jamak, dan jika Tuhan berkomunikasi dengan manusia, digunakan kata ganti orang pertama tunggal. Jika kita sepakat dengan poin ini, maka hakekat Allah bukanlah hanya satu abstraksi (atau sekumpulan sifat/properti yg abstrak), tetapi benar-benar satu hakekat yang konkrit; Dia adalah Allah yang berpribadi. Inilah fakta yang menyebabkan kita bisa ber- I and Thou dengan Tuhan, dan bukan “Aku dan kalian” (merujuk pada kejamakan pribadiNya).

2) Selanjutnya, jika Allah adalah tidak terbatas dan sempurna, maka hakekatNya (universalNya) adalah tidak terbatas dan sempurna, demikian juga dengan kejamakan pribadiNya (partikularitasNya). Dan, jika universalNya dan partikularitasNya tidak terbatas dan sempurna, maka di antara keduaNya, saling merepresentasikan dengan cara yang sempurna. Ini berarti bahwa properti dari universalNya direpresentasikan secara sempurna oleh setiap partikularitasNya, dan properti dari setiap partikularitasNya direpresentasikan secara sempurna oleh universalNya. Van Til berkata, “It is only in the Christian doctrine of the triune God, as we have bound to believe, that we really have a concrete universal. In God’s being there are no particulars not related to the universal that is not full expressed in the particulars” (CVT, The Defense of the Faith [Phillipsburg: P&R, 1967], 26).

Di dalam konteks yang semacam ini, maka apa yang berada secara umum dalam universalNya juga berada secara khusus pada masing-masing partikularitasNya secara sempurna, dan apa yang berada secara khusus pada partikularitasNya juga berada secara umum pada universalNya secara sempurna. Jika pemahamannya tidak seperti ini, maka setiap partikularitasNya adalah tidak sempurna dan ini bertentangan dengan dogma gereja yang mengatakan bahwa Bapa itu saja sendiri adalah Allah sepenuhnya, demikian juga dengan Anak itu sendiri saja adalah Allah sepenuhNya, dan demikian juga dengan Roh Kudus yang adalah Allah sepenuhnya. Mengapa masing-masing pribadi Allah ini adalah Allah sepenuhNya? Karena masing-masing pribadi ini memiliki seluruh hakekat (universal) keilahian secara sempurna.

Thus, kita dapat berkata God is one consciousness/mind/will di dalam universalNya (seperti pendapat bapak) tetapi juga three consciousnesses/minds/wills di dalam partikularitasNya. Jika kita menolak keunikan consciousness, mind, and will di dalam setiap partikularitas Allah, maka itu berarti bahwa consciousness, mind, and will hanya satu dan sama pada setiap pribadi Tritunggal, dan ini menimbulkan satu problem yang serius, e.g. bagaimana relasi kasih dapat diwujudkan oleh satu mind, satu will, dan satu consciousness yang sama dan identik? By the way, jika posisi semacam ini dipepet ke arah yang ekstrim, dapat menjadi semacam satu bentuk Sabelianisme. Jelas dapat seperti ini, karena partikularitasNya hanyalah tiga wajah yang berbeda, dimana mind, will, dan consciousnessNya adalah sama dan identik dan tak ada perbedaan apapun.

Posisi saya tidak demikian, karena apa yang sama dan identik di dalam universalNya (yang dimiliki secara sempurna oleh ketiga pribadi Allah), itu berada secara unik (ada keunikan dan kekhususan) di dalam masing-masing pribadi, sehingga saat berelasi, itu benar-benar adalah relasi inter trinitarian yang sifatnya “I and Thou” atau “subyek dan obyek” di antara ketigaNya, yang ditandai oleh keunikan dari masing-masing consciousness, will, and mind.

Jadi, dari penjelasan ini, saya sangat memahami saat Van Til berkata God is one person and three persons. Dan jika roh Allah yang satu itu (dimana substansi Allah adalah roh), juga berada secara unik pada masing-masing partikularitasNya (pribadi-pribadiNya) maka dapat dikatakan di dalam universalNya Allah adalah satu roh dan di dalam partikularitasNya tiga roh.

Dua hal/kesimpulan yang menyesatkan yang harus dihindari:
Dengan menerima konsep semacam ini, lalu konsekwensinya adalah bahwa ada tiga Allah yang berbeda tetapi masing-masing saling selaras satu dengan yang lainnya. Ini sama sekali salah. Ini adalah satu bentuk triteisme. Sejatinya ketiga pribadi ini tidak terpisah oleh karena memiliki satu hakekat yang sama dan identik, dan yang membedakan ketigaNya hanyalah cara berada dari hakekat itu pada masing-masing pribadi yang sifatnya “berada secara unik.” Di sini, sebagaimana juga dipahami pak Billy, kita harus menegaskan prinsip opera ad intra di dalam diri Tritunggal. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan triteisme.
Kesimpulan menyesatkan yang berikut adalah memahami bahwa Allah itu adalah satu pribadi jika merujuk pada universalNya, sehingga kesimpulannya adalah bahwa ada 4 pribadi dalam diri Allah; tiga pada partikularitasNya dan satu pada universalNya. Ini juga sama sekali salah dan merupakan kesimpulan yang sangat menyesatkan. Sejatinya, jika hakekat Allah berada secara sempurna di dalam masing-masing pribadi, maka kita TIDAK DAPAT membicarakan kepribadian dari universal/hakekat Allah secara terpisah dari ketiga pribadiNya. Dia adalah selalu satu dan tiga ATAU tiga dan satu.

Dengan demikian, jawaban saya ini, sudah menjawab pertanyaan pak Ferdy Renaldo Suthelie dan pak Albert Rumampuk.


Billy Kristanto: Pak Muriwali Yanto Matalu, 1) Izinkan saya meminjam bahasa yg Bapak gunakan di sini untuk menyatakan perbedaan kita: Allah selalu, dari kekal sampai kekal, adalah substansi yang berpribadi tiga (bukan satu). Dan ini konkret. Tidak perlu kita menyatakan bahwa substansi itu baru konkret karena memiliki kepribadian tersendiri yg satu. Karena di dalam Tritunggal, substansi itu tidak pernah terlepas dari ketiga Pribadi. Kita sependapat bahwa ketika Allah berkomunikasi dengan diri-Nya, di situ dinyatakan diversitas-Nya. Ketika Allah berbicara dengan manusia ciptaan-Nya, menggunakan bentuk tunggal, ini menyatakan kesatuan hakekat-Nya, bukan ketunggalan pribadi-Nya.

2) Saya sulit menerima komunikasi 2 arah dari universal ke partikular dan dari parikular ke universal ini, karena ini tidak terjadi, dan tidak dapat dipahami demikian dalam Kristologi. Bagi kita systematic theologians, coherence sangat penting (kalau koherensi ini rusak berarti kita bukan systematic tapi unsystematic theologian). Yesus 1 Pribadi 2 natur. Jika pemahaman komunikasi 2 arah dalam pemahaman Tritunggal a la Van Til diterapkan dalam Kristologi, maka 2 natur Yesus, supaya tidak menjadi abstraksi, harus masing2 memiliki pribadi sendiri (sama dengan konsep Tritunggal Van Til bahwa substansi ilahi yang satu itu juga harus berpribadi 1). Jika 2 natur Kristus memiliki pribadi masing-masing (karena harus ada komunikasi dua arah dari pribadi ke natur dan natur ke pribadi), maka konklusinya adalah Kristus memiliki 2 Pribadi. Pandangan seperti ini sudah dikutuk dalam konsili Chalcedon. Pandangan Bapak, "apa yang berada secara umum dalam universalNya juga berada secara khusus pada masing-masing partikularitasNya secara sempurna, dan apa yang berada secara khusus pada partikularitasNya juga berada secara umum pada universalNya secara sempurna" tidak dapat diterapkan baik dalam Kristologi maupun dalam Tritunggal. Ada presuposisi yg berbeda yg melandasi cara berpikir kita tentang pribadi. Saya sudah jelaskan sebelumnya. Saya tdk menggunakan presuposisi Aristotelian atau Hegelian ketika menyebut istilah pribadi, yaitu dalam pengertian memiliki KEUNIKAN/PARTIKULARITAS mind, affection/will. Kita tidak harus memiliki kehendak yang berbeda untuk menjamin adanya perbedaan/partikularitas pribadi. Dg kata lain kita bisa memiliki kehendak yang sama persis, namun tetap berada dalam keberbedaan pribadi. Jika diterapkan dalam Tritunggal: ketiga Pribadi memiliki kehendak yang sama yaitu mengasihi manusia yang berdosa. Tidak ada perbedaan kehendak di sini, dan ini sama sekali tidak menghancurkan partikularitas Pribadi. Saya dan Bapak bisa mempunyai kehendak yang sama untuk sama2 memuliakan Tuhan. Memiliki kehendak yang sama seperti ini, sama sekali tidak menghancurkan partikularitas kepribadian kita, justru malah menyatakan adanya kesatuan dalam keberagaman pribadi. Saya sama sekali tidak bisa mengikuti presuposisi yg mengajarkan bahwa untuk menjaga keunikan masing2 Pribadi, kita harus mengatakan mind dan will-Nya harus berbeda. Sekali lagi, ini bukan presuposisi Kristen melainkan presuposisi Aristotelian dan Hegel. Kalau boleh, saya ingin meng-encourage kaum presuposisionalist untuk lebih critical terhadap presuposisi non-alkitabiah ini, karena itu adalah tugas seorang presuposisionalist. Harus dikatakan bahwa pandangan Van Til tentang Tritunggal (1 Pribadi dan 3 Pribadi) ini unik, bahkan merupakan sebuah novum. Setahu saya, pandangan ini tdk ada pada Bapa2 Gereja, tdk ada dalam konsili2 ecumenical, dan juga tdk dikembangkan dalam pemikiran Bapa2 Reformator, pengakuan2 iman dan katekismus Reformed, bahkan tdk ada dalam teolog2 Reformed modern seperti Bavinck dan Berkhof, kecuali tentu saja, kita memaksa membaca Bavinck dari perspektif Van Til (hal mana bukan merupakan pembacaan yg obyektif). Historically speaking, Van Til berdiri sendiri dengan pandangan seperti ini. Systematic-theologically, pandangan ini incoherent dg Kristologi. Lebih jauh, systematic-theologically, pandangan seperti ini akan mengencourage pandangan anthropologis yang sangat keliru, yaitu dengan memahami manusia itu memiliki keunikan pribadi dengan memiliki pengertian dan kehendak sendiri/masing2. Alkitab sebaliknya mengatakan bahwa kita seharusnya menyangkal diri hingga bisa memiliki kehendak yang sama seperti kehendak Kristus yg taat kepada Bapa (fakta bahwa Van Til akhirnya mengembangkan konsep Tritunggal yang sangat unik dan berbeda, ini bagi saya konsisten dan coherent dengan pemahaman kepribadian Tritunggalnya yg juga unik dan berbeda).

Biblically, tdk ada dasar untuk menyatakan Allah 1 dalam Pribadi-Nya. Philosophically, kita tdk dapat mengajarkan Allah itu 1 dan 3 dalam pengertian yang sama (ini paradoks kontradiktif yg melawan akal sehat dan hukum logika).

Diskusi ini sdh cukup panjang, dari saya, ada baiknya kita sudahi di sini. Terima kasih sudah menyegarkan ingatan saya kembali akan keunikan Tritunggal Van Til. Tuhan memberkati pelayanan kita sekalian.


Muriwali Yanto Matalu: Pak Billy Kristanto, nampaknya (sepertinya) komentar yg terakhir lahir dari kesalahpahaman bapak. Yg nomor satu, saya kira tak perlu saya tanggapi lagi.
Tetapi yg nomor dua, dimana bapak kaitkan itu dgn kristologi, dimana seakan-akan ada masalah di situ jika kita menerima pandangan Van Tillian. Saya kira ini sama sekali tidak beralasan, oleh karena komunikasi Yesus (setelah inkarnasi) kepada kedua Pribadi lain (terutama kepada Bapa) dalam Tritunggal, adalah komunikasi dari satu Pribadi Theanthropic Person kepada pribadi Bapa. Itu adalah Pribadi Logos ilahi, dimana saat sesudah inkarnasi, pribadi Logos berbicara mewakili kedua naturNya; ilahi dan manusia. Tak ada problem apapun di sini. Lalu, ahli2 teologi juga sudah membahas ttg komunikasi kedua natur Kristus - BUKAN KOMUNIKASI ANTAR DUA PRIBADI - karena natur manusia Kristus tak memiliki pribadi manusia sendiri, tetapi mengambil bagiannya dalam pribadi Logos. Jadi, tak ada yg inkoherensi di sini.

Lalu, tanggapan bapak bahwa konsep satu dan tiganya Van Til sebagai satu kontradiksi, saya kira tak ada kontradiksi sama sekali. Karena istilah "satu pribadi" merujuk pada universalNya, dan "tiga pribadi" merujuk pada partikularitasNya. Sebuah pernyataan hanya berkontradiksi jika istilah "satu pribadi" dan "tiga pribadi" digunakan secara bersama dan di dalam pengertian yg sama untuk merujuk hanya pada partikularitasNya, atau jika merujuk hanya pada universalNya. Ini jelas satu kontradiksi logis. Tetapi Van Til tak memahaminya seperti itu.

Mengenai dasar alkitabiah, terlalu banyak ayat alkitab yg menyatakan pada kita bahwa hubungan orang percaya dengan Allah dalam Alkitab adalah bersifat I and Thou atau we and Thou, dan bukan "aku dan kalian" atau "kami dan kalian."
Finally, di dalam prakteknya, saat saya mengajar, saya tetap lebih suka mengajarkan rumusan yg lama, sedangkan rumusan Van Til saya hanya diskusikan pada mereka yg sudah memiliki pengertian yg lebih lanjut/dalam. Sama seperti saat saya ajarkan infra dalam hal predestinasi, dan menyimpan supra utk diri saya karena secara filosofis lebih memuaskan, maka demikian juga saat saya mengajarkan ttg Tritunggal. Saya lebih memilih utk mengajarkan rumusan yg sudah umum (minus pendapat pak Billy, bahwa mind, will, dan consciuosness bukan milik pribadi) dan menyimpan konsep Van Til ini utk diri saya sendiri oleh karena lebih memuaskan secara teologis dan filosofis. 


--------000-------

Kamis, 13 April 2017

KEBANGKITAN YESUS: ANTARA DELUSI, MITOS DAN FAKTA SEJARAH


Oleh: Albert Rumampuk

Kontroversi soal kebangkitan Yesus sebetulnya sudah berlangsung selama berabad-abad. Berbagai teori dimunculkan oleh para Skeptik hanya untuk mengkritisi peristiwa penting yang diimani oleh para pengikut Kristus itu. Sebut saja teori Jasad yang dicuri, teori pingsan atau teori kubur yang salah, makam talpiot, dsb. Semuanya digunakan untuk membombardir iman Kristen tersebut.


Tanggal 7 April yang lalu, saya diberikan sebuah buku yang berjudul ‘Asal – usul surat Galatia dan Injil Yohanes’ yang ditulis oleh Gratia Victory A. Pello. Buku itu dipinjamkan oleh salah seorang kenalan istri saya. Saya lalu membuka dan membaca-nya. Rupanya itu adalah sebuah buku yang berisi tanggapan terhadap ajaran miring dari DR. Ioanes Rakhmat, DR. K.A.M. Yusuf Roni, dan Ev. drg. Yusak Cipto. Saya tidak terlalu terkejut mendengar tiga nama yang disinggung oleh penulis, karena sudah sejak lama saya tahu bahwa ketiga-nya punya ajaran yang menyimpang. Ioanes misalnya yang terang-terangan menolak keselamatan karena penebusan Kristus di salib, Yusuf Roni yang bermasalah dengan konsep Allah Tritunggal dan keilahian Yesus, dan Yusak Cipto yang berasumsi bahwa Yesus di Pra-inkarnasiNya adalah ciptaan yang diawali waktu (1). Dalam buku tersebut, penulis mencatat ketidaksetujuannya dengan Yusuf Roni karena ikut menyebarluaskan / mempromosikan ajaran Ioanes. Namun ada hal  menarik yang dicatat dalam buku itu. Penulis menceritakan pertemuannya dengan Yusuf Roni di sebuah STT di Surabaya. Saat mengajar pada kuliah umum di STT tersebut, Yusuf Roni berkata: “Yesus membangkitkan orang mati adalah mitos, Yesus bangkit dari maut adalah mitos. Yesus naik ke sorga adalah mitos...” (2) Menurutnya, “kalau kejadiannya biasa-biasa saja itu sejarah. Kalau kejadiannya luarbiasa disebut Mitos.” (3) Selama ini saya belum pernah mendengar beliau mengatakan demikian, karena biasanya ketidakberesannya itu hanya dikaitkan dengan soal ketritunggalan Allah. Jika benar demikian,(4) maka yang bersangkutan telah menutup mata terhadap ajaran Kitab Suci. Secara eksplisit, Yusuf Roni sebetulnya menganggap bahwa Mujizat, Kebangkitan dan Kenaikan Yesus ke surga itu adalah Mitos dan bukanlah fakta sejarah. Ioanes yang lebih dulu populer, juga punya pandangan yang mirip dengan Yusuf Roni.

Dalam tulisannya Ioanes berkata demikian: “Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah objektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis PB sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi. Dalam metafora, sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subjektif, bukan dalam realitas objektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: dia telah diangkat dalam roh, untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah tubuh rohani (lihat 1 Korintus 15:35-58), bukan tubuh fisikal protoplasmik.” (5)

Menurut Adji, Ioanes berpendapat bahwa Yesus tidak bangkit secara jasmani dalam arti apapun; Mayat Yesus tetap ada dikubur dan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus. (6)

Data Kitab Suci

Alkitab secara jelas mencatat peristiwa kebangkitan Yesus secara terang benderang. Matius mencatatnya di pasal 28:1-20, Markus mencatatnya di seluruh pasal 16, Lukas di pasal 24:1-50, lalu Yohanes mencatatnya di pasal 20:1-29 dan pasal 21. Rasul Petrus sendiri mengakui dalam Kis 1:22 bahwa ia adalah salah seorang saksi kebangkitan Kristus. Ini terus dilanjutkan dalam Kis 2:24 dimana  Petrus dengan lantang berkata: “Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.” Seluruh peristiwa kebangkitan Yesus ini bukan hanya terjadi diangan-angan para murid, atau bersifat rohani saja. Para murid, perempuan-perempuan dan semua orang-orang disana pada waktu itu tidaklah sedang berkhayal. Tetapi mereka benar-benar merasakan kehadiran Yesus secara fisik. Memang benar bahwa ada sekte-sekte tertentu yang tidak mempercayainya, seperti bidat Cerinthus, dsb (7), itu hal biasa yang selalu ada di sepanjang sejarah Kekristenan. Jangankan Cerinthus, bahkan Tomas-pun tak percaya bahwa guru-nya telah bangkit dari kematian (Yoh 20:25). Tetapi Yesus tidak membiarkan ketidakpercayaan Tomas itu berlarut-larut. Delapan hari kemudian Yesus kembali menampakkan diri-Nya dan menantang Tomas untuk menyentuh/memegang-nya secara langsung. Yesus berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah" (Yoh 20:27) dan Tomas akhirnya menjadi percaya (ayat 28-29). Tantangan Yesus terhadap Tomas, tidak lain dimaksudkan agar Tomas percaya bahwa Dia telah benar-benar bangkit dari kubur. Bahwa yang ada di depan Tomas itu bukanlah hantu atau arwah yang gentayangan. Hal ini sekaligus meruntuhkan asumsi Ioanes bahwa Kebangkitan Yesus hanyalah Metafora / khiasan yang bersifat rohani.

Rasul Paulus sendiri disepanjang hidupnya sering bersaksi tentang kebangkitan Yesus. Di Kis 17:2-3 selama tiga Sabat berturut-turut dia menerangkan bahwa “Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati...” Dalam 1 Kor 15:3-4, Paulus menekankan pentingnya kematian dan kebangkitan Kristus: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci,  bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci;” Hebatnya, Yesus sendiri sudah meramalkan kebangkitan-Nya (Mat 17:22-23) dan bahkan dinubuatkan sekitar 1000 tahun sebelum kelahiran-Nya: “sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan” (Maz 16:10) (8)

Kesaksian Kitab Suci tentang kebangkitan Yesus cukuplah untuk menangkal orang-orang yang menolak peristiwa agung tersebut. Mereka yang menolak kebangkitan, itu sama saja dengan tidak mempercayai para penulis Injil, Nabi Daud, Rasul Petrus, Rasul Paulus atau Yohanes dan itu berarti tidak percaya pada Firman Tuhan.

Sekarang, bandingkan dengan pernyataan Ioanes berikut: “... Para penulis PB sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi...” Bagaimana caranya Ioanes bisa memastikan bahwa para penulis PB memahami kebangkitan Yesus sebagai Metafora? Dengan begitu banyaknya pernyataan / kesaksian para Rasul PB dan bahkan Daud (PL) yang eksplisit akui / menubuatkan kebangkitan-Nya, masihkah mengatakan itu hanya metafora? Aneh-nya, Ioanes malah menuduh penulis PB tak bisa membedakan antara realitas, fantasi dan delusi. Saya khawatir justru dialah yang sedang berfantasi dengan khayalan iman metafora-nya itu.

Catatan Sejarah

Kekristenan bukanlah sebuah agama / kepercayaan yang dibangun atas dasar mitos, khayalan, atau dongeng. Kekristenan adalah keyakinan yang didasari pada fakta, bukan fantasi! Sebagai contoh, dalam buku yang ditulis oleh Gratia, Yusuf Roni mengatakan bahwa mujizat yang dilakukan Yesus adalah mitos (9). Ini tentu saja bertentangan dengan kesaksian orang Yahudi pada masa-masa awal seperti Eliezer bin Hyrcanus (thn 95M) yang berbicara kemampuan ajaib Yesus atau bahkan Julian the Apostate, Kaisar Roma penentang Kristen terhebat di zamannya yang juga mengakui kuasa mujizat Yesus (10).

Tetapi bagaimana dengan kebangkitan-Nya? Sebuah dongeng atau sejarah? Memang ada kelompok tertentu yang menganggap bahwa yang mati disalib itu bukan Yesus, tetapi bahwa Dia diganti dengan orang lain dan Yesus langsung diangkat ke surga sehingga Yesus tidak mati disalib dan pasti tidak bangkit. Tetapi itu hanyalah asumsi-asumsi yang tak berdasar. Josh McDowell dalam bukunya memberi begitu banyak sumber sejarah yang berlimpah tentang kebangkitan Kristus. Berikut diantaranya.

Ignatius (th. 50-115 M), Uskup Antiokhia, murid Rasul Yohanes berkata: “Dia disalibkan dan wafat dibawah pemerintahan Pontius Pilatus. Dia benar-benar, dan bukan hanya tampaknya saja, disalibkan dan wafat, ... Dia juga bangkit kembali pada hari yang ketiga... Dia dijatuhi hukuman mati: benar-benar disalibkan, bukan hanya tampaknya, bukan hanya dalam khayalan, bukan oleh tipuan. Dia benar-benar wafat, dan dimakamkan, dan bangkit dari antara orang mati...” (11)  

Prof. Bernard Ramm: “Baik dalam sejarah Gereja maupun sejarah kepercayaan kebangkitan telah ditegaskan sejak awal. Ia disebutkan dalam karya Clemens dari Roma, Epistle to the Corinthians (95M), dokumen tertua dalam sejarah gereja dan terus disebut-sebut sepanjang zaman para bapa gereja. Ia muncul dalam berbagai bentuk Kredo Para Rasul dan tidak pernah dibantah.” (12)

Prof. Sparrow-Simpson: “Dalam surat S. Polykarpus pada jemaat di Filipi (sekitar thn 110 M) penulis berbicara tentang Tuhan kita Yesus Kristus yang setelah ‘menderita sampai wafat bagi dosa-dosa kita, dibangkitkan oleh Allah, setelah terlepas dari penderitaan maut.’ Dia berkata bahwa Allah ‘membangkitkan Tuhan kita Yesus Kristus dari antara orang mati dan memuliakan serta mendudukkan Dia disebelah kanan takhta-Nya, kepada-Nyalah sujud segala sesuatu diatas bumi dan didalam surga.’ Yesus yang sudah bangkit ‘akan datang sebagai hakim atas orang hidup dan orang mati.’ Dan ‘Dia yang membangkitkan-Nya dari antara orang mati akan membangkitkan kita juga, kalau kita melakukan kehendak-Nya dan menaati perintah-perintah-Nya.’” (13)

Sejarawan Yahudi ternama Yosefus yang menulis di akhir abad pertama M dalam Antiquities, 18.3.3: “Demikianlah, kira-kira pada waktu inilah Yesus Kristus, seorang manusia bijaksana, kalau boleh menyebutnya seorang manusia; karena Dia adalah seorang pelaku pekerjaan yang luarbiasa, seorang guru yang mengajarkan kebenaran sedemikian rupa sehingga orang menerimanya dengan sukacita. Dia menarik banyak orang Yahudi kepadanya, dan juga banyak orang Yunani. Orang ini adalah Kristus. Dan ketika Pilatus telah menyuruh menyalibkan Dia oleh karena dakwaan para pemimpin diantara kita, mereka yang sejak semula telah mengasihinya tidak meninggalkan dia, karena dia menampakkan diri dalam keadaan hidup kepada mereka pada hari yang ketiga, nabi-nabi Allah telah berbicara tentang hal ini dan ribuan hal lainnya yang menakjubkan tentang dia. Dan bahkan sampai sekarangpun, kaum Kristen, demikian mereka dinamakan berdasarkan namanya, belum juga punah.” (14)

Kebangkitan Yesus dari kubur bukanlah mitos yang dicipta oleh para penulis Alkitab. Itu adalah peristiwa sejarah yang tak terbantahkan.

Dasar pijakan para Skeptik

Para pengkritik dalam menyerang iman Kristen biasanya hanya menggunakan retorika yang remeh dan lucu. Sekali lagi bahwa argumentasi yang dibangun hanya berdasar asumsi-asumsi belaka. Misalnya teori Pingsan yang menjelaskan bahwa Yesus tidak mati disalib, tetapi hanya pingsan dan kemudian kesadarannya pulih di dalam kubur. (15) Ini tentu saja tidak masuk akal karena begitu hebatnya penyiksaan yang di alami Yesus, mulai saat pencambukan, penyaliban sampai penusukan tombak. Bahkan, menurut Metherell penderitaan itu dimulai setelah Perjamuan terakhir: “Yesus pergi dengan murid-muridNya ke bukit Zaitun – spesifiknya, ke taman Getsemani. Dan disana, jika anda ingat, Ia berdoa semalam-malaman. Nah, selama proses itu Ia mengantisipasi datangnya peristiwa-peristiwa pada hari berikutnya. Karena Ia mengetahui beratnya penderitaan yang akan Ia pikul, ia sungguh-sungguh wajar mengalami tekanan psikologis yang sangat besar.” (16) Ketika menjelaskan tetesan keringat darah yang Yesus alami saat itu, Metherell melanjutkan: “Ini adalah suatu kondisi medis yang dikenal dengan nama hematidrosis. Tidak terlalu umum, tetapi ini diasosiasikan dengan tekanan psikologis tingkat tinggi. Apa yang terjadi adalah bahwa kegelisahan yang hebat menyebabkan terlepasnya zat-zat kimia yang memecahkan kapiler-kapiler dalam kelenjar-kelenjar keringat. Akibatnya, terjadi sedikit pendarahan dalam kelenjar-kelenjar ini, dan keringat yang keluar disertai dengan darah. Kita tidak membicarakan banyak darah; hanya sangat, sangat sedikit... Apa yang diakibatkannya adalah menyebabkan kulit menjadi amat sangat rapuh sehingga ketika Yesus dicambuk oleh serdadu Roma keesokan harinya, kulitNya akan menjadi sangat, sangat sensitif.” (17) Hal ini kemudian dilanjutkan dengan pencambukan Romawi yang brutal, penyaliban yang sadis dimana tangan dan kaki-Nya di paku (Maz 22:17b), kehausan (Yoh 19:28) dan terakhir, ditusuk dengan tombak (Yoh 19:34). Penyiksaan yang begitu hebat, apalagi selama 3 hari di kubur dalam kondisi tubuh yang hancur tanpa makan dan minum, sangat tidak memungkinkan Yesus hanya sekedar pingsan. Yesus pasti mati ! (Mat 27:50, 57-60)

Teori kedua adalah jasad yang dicuri para murid. Isu ini pertama kali muncul persis setelah Yesus bangkit (Mat 28:13). Tapi itu jelas merupakan dusta yang sengaja dihembuskan oleh para imam. Para serdadu disogok dengan sejumlah uang untuk bersaksi palsu (ayat 12-15). Mulai saat itulah hal ini mungkin dibakukan menjadi semacam ‘teori’ bagi para pengkritik untuk menyerang kebangkitan Yesus. Tapi perlu diketahui bahwa kecurigaan para imam bahwa mayat Yesus akan dicuri oleh para murid, itu sebelumnya sudah diantisipasi oleh mereka. Mereka menghadap Pilatus dan meminta menempatkan pengawal. Pilatus kemudian memberi para penjaga (Mat 27:62-66). Pada jaman itu jika ada penjaga yang lalai dalam tugasnya maka dia akan menghadapi hukuman mati (bdk. Kis 12:19; Kis 16:27). Karena itu mereka akan sangat berhati-hati dan pasti tak akan membiarkan mayat Yesus di dicuri. Jika para murid memang sengaja mencuri mayat Yesus, bagaimana mungkin Petrus begitu lantang meneriakan kebangkitan Yesus (Kis 2:24) dan bahkan rela menjadi martir untuk sebuah kebohongan? Lucu bukan??

Selanjutnya adalah teori kubur yang salah. Teori ini mengatakan karena banyak kubur disekitar makam Yesus, para wanita yang mengunjungi kubur Yesus menjadi bingung untuk menentukan kubur mana yang menjadi kubur Yesus. C. Marvin & Sheryl L. Pate menjawab: “Yusuf dari Arimatea memiliki kubur tempat Yesus disemayamkan. Dan tentu saja, dia akan tahu kubur mana yang menjadi miliknya dan tempat dia menyemayamkan jasad Yesus, yang memberi kemudahan untuk membuktikan kesalahan pernyataan para wanita bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Satu-satunya hal yang perlu dilakukannya adalah membawa orang ke kubur yang benar tempat jasad Yesus masih ada di dalamnya. Namun Kitab suci tidak menunjukkan bahwa dia melakukan hal tersebut.” (18) Dengan kata lain bahwa perempuan-perempuan yang datang ke kubur Yesus itu tidak salah alamat. Kemudian, seperti yang kita ketahui Yesus mati sekitar pukul 3 siang di hari Jumat (bdk. Mat 27:46; Mrk 15:42), lalu menjelang malam Yusuf dari Arimatea datang dan menurunkan mayat Yesus. Setelah membaringkan mayat Yesus dan menggulingkan batu, Yusuf lalu pergi. Perhatikan, setelah Yusuf pergi, Maria Magdalena dan perempuan yang lain tinggal dan duduk didepan kubur itu (Mat 27:61). Memang tak diketahui berapa lama mereka ada disitu, tetapi yang jelas mereka tahu posisi/letak kubur dimana mayat Yesus ada. Alkitab mencatat Yesus bangkit hari Minggu pagi (bdk. Mat 28:1). Nah, bagaimana mungkin hanya dalam waktu yang singkat seperti itu Maria dkk bisa lupa letak kubur Yesus? Bukankah kubur itu adalah kubur yang baru yang letaknya tidak jauh dari tempat dimana Yesus disalib (Mat. 27:60; Yoh 19:41,42)? Lagi-lagi lucu bukan? 

Siapa yang memulai?

Jika kita menelusuri asal-usul penolakan kebangkitan Kristus, menurut saya itu pertama kali dihembuskan oleh para imam-imam Yahudi beberapa saat setelah kebangkitan-Nya (bdk. Mat. 28:11-15). Para imam itu sebetulnya bukannya tak percaya bahwa Yesus telah bangkit, tetapi bahwa isu itu sengaja dibuat untuk mengelabui wali negeri dan orang-orang disana pada waktu itu. Tentu bukan hal yang aneh jika para Farisi dan imam-imam kepala melakukan hal itu, karena saat itu mereka-lah orang-orang yang selalu menentang dan menghalang-halangi pelayanan / ajaran yang Yesus sampaikan. Isu tentang ketidakbangkitan karena dicuri-nya mayat Yesus oleh para murid, kemudian tersebar dikalangan orang-orang Yahudi saat itu (Mat 28:13,15). Di awal abad ketiga Masehi, Origen berhasil menyanggah isu tersebut dalam perdebatannya dengan Celsus (19). Tetapi pada tahun 1778 dipertahankan kembali oleh H.M. Reimarus dalam karyanya yang berjudul The Goal of Jesus and His Disciples (20).

Ada lagi sebuah sekte Yahudi yang dijadikan rujukan oleh para skeptik: Cerinthus. Cerinthus adalah bidat yang muncul diabad pertama yang ajarannya ditentang oleh Bapa-Bapa Gereja (21). Salah seorang Bapa gereja, Ephipanius menjelaskan salah satu ajaran Cerinthus dengan berkata: “6. 1. Cerinthus yang bodoh ini, guru dari orang-orang bodoh, berpendapat (spekulasi) lebih jauh bahwa Kristus menderita dan telah disalib namun belum dibangkitkan kembali, namun Ia (Yesus, pen) akan dibangkitkan nanti ketika kebangkitan masal dari orang-orang mati.” (22) Apa yang diajarkan oleh Cerinthus ini tentu saja tak cocok dengan fakta yang ada saat itu. Tidak heran jika Ephipanius menyerang Cerinthus sebagai seorang yang stupid / bodoh dan guru-nya orang-orang bodoh. Sungguh mengenaskan jika DR. Ioanes Rakhmat, dkk, justru meneruskan ajaran yang bodoh ini.

Penutup

Kebangkitan Kristus bukanlah sekedar delusi yang diyakini pengikut-Nya, itu punya dasar Kitab suci yang jelas. Bukan juga mitos yang bersifat ahistory, tapi merupakan fakta sejarah. Namun perlu diingat, saya memberi data yang non biblikal bukan bertujuan untuk menentukan benar tidaknya kesaksian Alkitab tentang kebangkitan Kristus. Kitab Suci yang adalah Firman Allah adalah satu-satunya sumber rujukan yang valid/objektif, sehingga semua hal yang tercatat di dalamnya pasti benar. Namun bagaimana jika saudara diperhadapkan dengan tuntutan dari pihak non Kristen untuk memberi pembuktian eksternal/di luar Alkitab tentang hal ini dan saudara tak bisa menjawabnya? Saudara bingung? Iman anda menjadi goyah? Bukalah Yoh 20:25-29. Disitu diceritakan ada seorang murid Yesus yang bernama Tomas yang juga ragu dengan kebangkitan Yesus. Perhatikan kata-kata Yesus diayat 29: "... Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Mungkin anda tidak hidup di zaman Yesus. Anda bukanlah saksi mata atas kebangkitan-Nya. Janganlah menjadi bimbang dan ragu. Ingat pesan Tuhan kita Yesus Kristus: “Berbahagialah anda yang tidak melihat namun percaya.” 





Catatan kaki:

(1) Dia menggunakan Wah 3:14 untuk mendukung posisinya
(2) Gratia Victory A. Pello, ‘Asal –usul surat Galatia dan Injil Yohanes’, hal. 25
(3) Ibid
(4) Selanjutnya saya akan menggunakan tulisan Gratia Victory tentang Yusuf Roni untuk menyanggah pandangannya soal kebangkitan Yesus.
(5)  http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2015/10/kontroversi-sekitar-temuan-makam.html
(6) Adji A. Sutama, Yesus tidak bangkit? Hal. 174
(7) Gratia Victory A. Pello, ‘Asal –usul surat Galatia dan Injil Yohanes’, hal. 121
(8) NIV  Psalm 16:10 “because you will not abandon me to the grave, nor will you let your Holy One see decay.” Bdk. Kis 2:27,31
(9) Gratia Victory A. Pello, ‘Asal –usul surat Galatia dan Injil Yohanes’, hal. 25
(10) Josh McDowell, Apologetika Vol 1. Hal.202
(11) Ibid, hal. 287-288
(12) Ibid, hal. 301
(13) Ibid, hal. 302
(14) Ibid, hal. 289
(15). Marvin Pate & Sheryl L. Pate, Disalibkan oleh Media, hal. 199
(16) Lee Strobel, Pembuktian atas kebenaran Kristus, hal. 251
(17) Ibid, hal. 252
(18) Marvin Pate & Sheryl L. Pate, Disalibkan oleh Media, hal. 202-203
(19) Ibid, hal. 198
(20) Ibid
(21) Gratia Victory A. Pello, ‘Asal –usul surat Galatia dan Injil Yohanes’. Hal. 22-23
(22) Ibid, hal 122